Covid-19, Bhinneka Tunggal Ika dan Jiwa Nasionalisme

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa Republik Indonesia memiliki spirit toleran, moderat, harmoni, integrasi, kerja sama, saling mendukung, semangat berjuang, dan implementasi nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan masyarakat bersatu, makmur berkeadilan, dan keadilan yang berkemakmuran dilakukan oleh pemerintah dan seluruh elemen masyarakat yang menghuni wilayah nusantara ini dengan tekad menjaga keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia.

Aktualisasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dilakukan melalui tindakan nyata keseharian oleh seluruh komponen warga masyarakat dalam memperkuat integrasi nasional, karena Indonesia dengan beragam budaya, suku/etnik, bahasa, agama, kondisi geografis, dan strata sosial yang berbeda, berada di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya pemerintah menjalankan proses pembangunan masyarakat yang majemuk harus bersinergi bersama tanpa membedakan latar belakang dan strata sosial kehidupan untuk mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan komitmen bersama, berlandaskan nilai-nilai yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika yang termaktub dalam Pancasila. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia yang terintegrasi secara nasional adalah sangat penting sebagai potensi yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan dalam membangun komunikasi serta aksi nyata sebagai acuan utama bagi jati diri bangsa Indonesia untuk menunjukkan sikap nasionalismenya guna mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap kemajemukan sosial budaya akan berkontribusi pada semakin dewasanya pola pikir dan sikap masyarakat membangun citra diri didasarkan aktualisasi pemahaman nilai-nilai kebhinnekaan yang dimiliki, dapat menjadi investasi yang diandalkan pada pelaksanaan pembangunan nasional sebagai salah satu pilar demokrasi.

Untuk itu, diharapkan tindakan nyata pemerintah dan masyarakat yang lebih kompak, contoh dalam penanganan Covid-19, telah dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang peningkatan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian coronavirus disease (Covid-19) agar masyarakat terlindungi dari virus Covid-19 dengan protokol kesehatan dengan 4 M, yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan agar terhindar dari Covid-19. Seruan ini tanpa membedakan suku, agama, ras, adat istiadat, latar belakang geografis, status sosial, kedudukan, dan seterusnya, yang fungsinya melindungi manusia sebagai warga negara agar tetap sehat, tetapi apa yang terjadi? Justru ada tokoh agama dengan ribuan pengikutnya memberikan contoh negatif, mengabaikan protokol kesehatan di era Covid-19 dengan pengerahan massa besar-besaran, bertabligh, mengadakan resepsi pernikahan, dan mengabaikan keselamatan diri dan pengikutnya, hal ini terbukti puluhan pengikutnya terpapar Covid-19. Akibat ini, berapa juta uang rakyat yang dipergunakan untuk pengobatan? Berapa banyak orang terganggu aktivitas kerjanya? Berapa banyak petugas keamanan yang harus ekstra kerjanya, hal inilah yang justru menyusahkan orang banyak, lalu di mana sikap nasionalismenya sebagai warga negara yang harus patuh pada hukum dan negara? Yang seharusnya ia dan mereka menjadi contoh bagi masyarakat, agar mematuhi protokol kesehatan demi kesehatan perlindungan bersama.

Oleh karenanya, perlu kita perhatikan seorang Imam besar dalam bidang tasawuf, yakni al ’Alamah Imam Al Ghozali menyampaikan pesan ”… jadilah manusia bermanfaat bagi orang lain minimal tidak merugikannya, berbuat baiklah kepada orang lain minimal tidak menyakitinya, pujilah kebaikannya minimal tidak mencaci keburukannya.” Di sinilah pentingnya pemerintah dan masyarakat memaknai kondisi kemajemukan yang terintegrasi secara nasional melalui wawasan kebangsaan yang lebih arif dalam meletakkan dirinya di era pandemi dan globalisasi untuk menjaga stabilitas kehidupan sosial masyarakat.

Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, diharapkan menjadi landasan perjuangan pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan persatuan serta kesatuan bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia selalu harmonis, toleran akan perbedaan, menjaga keutuhan bangsa, dan pada akhirnya menjadi kiblat dunia sebagai bangsa yang multikulturalisme.

Membina bangsa Indonesia yang multikultural memerlukan usaha yang berkesinambungan agar integrasi nasional tetap terjaga dengan baik, maka dibutuhkan proses pendidikan sejak dini mulai dari lingkungan keluarga (informal), sekolah (formal), dan masyarakat (nonformal) tentang prinsip bersatu dalam perbedaan karena individu dalam masyarakat majemuk agar memiliki kesetiaan ganda, yakni terhadap bangsa-negara, juga tetap memiliki keterikatan terhadap identitas kelompoknya, tetapi kesetiaan terhadap bangsa dan negara di atas segala-galanya, hal ini pernah dicontohkan oleh Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid yang biasa dipanggil Gus Dur, ketika 300.000 orang lebih yang setia terhadap Gus Dur izin untuk menyerbu Jakarta dalam rangka mempertahankan kedudukan Gus Dur sebagai presiden, bahkan loyalis itu siap pertumpahan darah demi mempertahankan kedudukan Gus Dur sebagai presiden saat dilengserkan oleh MPR, justru Gus Dur tidak memperkenankan loyalisnya hadir ke Jakarta karena Gus Dur memiliki prinsip kalau presiden diturunkan tidak masalah, tetapi kalau dasar Negara Indonesia dibubarkan dan Panacasila diubah dengan ideologi lain, maka saya (kata Gus Dur) akan menjadi orang yang berada dalam barisan terdepan, siap membela negara, dan bahkan siap pertumpahan darah. Sikap yang ditampilkan Gus Dur itulah negarawan dan nasionalisme sejati, sehingga Gus Dur dijuluki Bapak Bangsa, dan Gus Dur juga tetap dekat dengan loyalisnya bahkan sangat dihormati di tengah-tengah masyarakat.

Jadi Bhinneka Tunggal Ika mempunyai banyak peran penting dalam kemajuan, kemakmuran, serta keamanan bangsa Indonesia. Peran Bhinneka Tunggal Ika yang paling penting atau utama adalah sebagai pemersatu bangsa untuk menjaga derajat dan martabat bangsa agar dapat menjadi kiblat persatuan bangsa atau negara-negara lain.

Untuk dapat dipahami bahwa untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan Indonesia dapat ditempuh setidaknya dengan empat cara; Pertama, mentransformasikan kesadaran multikulturalisme kepada masyarakat menjadi identitas nasional dengan bertumpu pada penghargaan terhadap kepluralistikan masyarakat Indonesia. Kedua, membangun integrasi nasional yang berbasis multikulturalisme dengan mendorong kesadaran masyarakat menggunakan hak konstitusinya dalam berkumpul, berserikat, dan berpendapat guna memperjuangkan hak-hak keadilan, kebebasan, kesetaraan, serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan, dan Ketiga, mendorong pemerintah menjadikan civil society sebagai mitra kerja, baik dalam pengambilan kebijakan dan eksekusinya pada bidang-bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan tetap memperhatikan entitas budaya lokal. Keempat, mendorong peran tokoh agama dalam menciptakan kedamaian dan kerukunan untuk membangun kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya dengan menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah beribadah pada Tuhan, bukan fanatik agama, melalui kesadaran antarintern umat beragama, antarumat beragama, umat beragama dengan pemerintah, pemerintah dengan masyarakat, menjunjung tinggi sikap harmonisasi, toleran, moderat, dan tidak saling menghujat. Dengan demikian, agama menjadi pemersatu bagi seluruh masyarakat dan tidak sebaliknya menjadi alat pemecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

*) Penulis adalah Rektor Universitas Islam Malang (Prof. Dr. H. Maskuri, M.Si)